MAHAKARYA DARI MINAHASA

0
5518

Jumlah kain yang terakhir ditenun tahun 1880 ini tidak sampai sepuluh buah di dunia. Kini hanya dua kain bentenan di Indonesia dan keduanya disimpan di Museum Nasional.

Tombulu, Minahasa, Sulawesi Utara, Katun, Logam, No. Inv. 2766

Menjadi sebuah mahakarya para penenun Minahasa, kain bentenan ini termasuk kain yang sakral dan langka. Dikatakan sakral karena kain ini hanya digunakan oleh kalangan tertentu pada waktu tertentu.
Dahulu, kain bentenan merupakan pakaian para pemimpin adat (Tonaas) dan pemimpin agama (Walian) dalam berbagai upacara adat seperti upacara membangun rumah, menentukan masa tanam, sampai berperang. Kain ini juga digunakan dalam berbagai upacara daur hidup sebagai kain pembungkus bayi yang baru lahir, bagian dari upacara pernikahan, juga pembungkus jenasah bagi kalangan tertentu. Dalam upacara tersebut, Walian dan Tonaas akan memohon perlindungan pada Opo-Opo (dewa) dengan membaca mantra khusus.
Dalam beberapa literatur dituliskan bahwa kain ini terakhir ditenun di daerah Ratah pada akhir abad 18. Kain bentenan bahkan sempat “menghilang” tidak diproduksi selama lebih dari 200 tahun. Tak mengherankan apabila jumlah kain bentenan antik sampai saat ini tidak sampai sepuluh buah di dunia.Di Museum Nasional tersimpan kain bentenan bermotif patola, yang menurut Yudi Achyadi, seorang kurator tekstil, merupakan kain bentenan satu-satunya di dunia yang bermotif patola.

MOTIF KA’IWU PATOLA dipengaruhi oleh motif patola India. Hetty Nooy Palm, seorang peneliti Belanda, berpendapat bahwa kain bentenan jenis ini terakhir ditenun pada tahun 1880.
Perjalanan untuk menghasilkan sehelai kain bentenan cukup panjang. Kain ini dibuat dengan teknik ikat yang rumit, dimulai dari pemintalan benang, pengikatan dan pewarnaan benang, lalu penjemuran. Selanjutnya kain akan ditenun tanpa terputus sampai berbentuk silinder (sarung) dengan alat tenun tradisional yang sudah punah.
Dalam sebuah tulisan yang diulas dalam koran “Tjahaya Siang” terbitan 1880, sebelum menenun kain, penenun akan melantunkan lagu “Ruata” yang berarti Tuhan agar mereka dapat menghasilkan kain tenun yang indah.
Sebenarnya dahulu kain ini bernama “Pasolongan Rinegetan”. Kemungkinan penamaan ini muncul karena kain yang ditenun berbentuk “pasolongan” (bundar seperti sarung dan tanpa sambungan/jahitan). Selain sebagai sarung, kain ini dikenakan oleh para Tonaas dan Walian sebagai atasan dengan cara dilipat dua dan diberi lubang di tengah, sehingga mereka dapat memasukkan ke-palanya yang disebut “sumolong”. Untuk lebih memperindah kain tenun tersebut, di bagian paling bawah kain digantung lonceng-lonceng kecil yang diberi nama “reget”, sehingga kain bentenan pun diberi nama “Pasolongan Rinegetan”.

Kata bentenan menjadi populer ketika mulai diperjualbelikan ke luar Minahasa melalui pelabuhan pulau Bentenan, Kabupaten Minahasa. Karena itulah, kain ini pun lebih populer dengan nama kain bentenan. Pulau Bentenan sendiri termasuk daerah kecil, sehingga keberadaannya seringkali tidak tampak di banyak peta. Namun demikian, pada sekitar abad 15-17, pulau ini ramai oleh para saudagar yang transit sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke pulau lainnya.
Peneliti etnografi, Jasper dan Pringadi, meyakini bahwa di pulau ini lah pertama kali kain Bentenan ditenun, yang kemudian menyebar hingga ke di Tombulu, Tondano, Ratahan, Tombatu dan wilayah lainnya.
KEBERADAAN KAIN TENUN BENTENAN di Minahasa lambat laut mulai dilupakan. Ada beberapa penyebabnya, salah satunya berkaitan dengan penyebaran agama Kristen yang dibawa para misionaris Belanda. Masyarakat setempat lambat laun meninggalkan upacara dan berbagai ritual adat, padahal warga Minahasa khususnya tetua adat memakai kain bentenan sebagai bagian dari upacara adat.
Selain itu, penggunaan kain tenun pun dianggap kuno dan kurang modern.  Banyak orang memilih mengenakan pakaian modern seperti orang Belanda. Akhirnya kain bentenan pun semakin dilupakan dan menjadi langka.
Saat ini sudah ada upaya dari masyarakat Minahasa, khususnya para perajin dan desainer setempat, untuk kembali mempopulerkan kain tenun bentenan. Walaupun demikian, kualitas kain yang dihasilkan belum dapat menyamai kain tenun bentenan yang asli. Salah satu penyebabnya adalah alat tenun yang digunakan saat ini tidak sama dengan alat tenun asli yang kini sudah punah. Selain itu referensi kain tenun bentenan asli yang bisa dijadikan acuan sangat langka. Acuannya hanya satu, yaitu kain bentenan di Museum Nasional Indonesia.

(Penulis : Valentina Beatrix Sondakh dalam Warta Museum Tahun XII Tahun 2017)