Strategi Pengawetan Koleksi Masa Pandemi

0
1234

Pandemi Covid-19 memberi dampak yang luar biasa bagi dunia, tak terkecuali dalam hal permuseuman. Berdasarkan data International Council of Museums (ICOM) dan UNESCO, hampir 90% institusi budaya harus ditutup sementara, hampir 13% berada di bawah ancaman serius untuk tidak dibuka kembali. Hal tersebut turut mempengaruhi kondisi koleksi museum dikarenakan tidak tersentuh tindakan konservasi dalam jangka waktu cukup lama akibat kebijakan karantina mandiri untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang tepat dan tindakan preventif untuk menyiasati agar tidak terjadi kerusakan pada koleksi museum selama masa pandemi.

Sebagai museum dengan jumlah koleksi terbanyak di Indonesia, Museum Nasional berinisiatif untuk mengedukasi masyarakat melalui kegiatan seminar daring yang bertajuk “Preventif itu Baik: Strategi Pengawetan Koleksi Masa Pandemi”, dengan narasumber Dr. Yuni K. Krisnandi, M.Sc. dari Departemen Kimia FMIPA UI, bersama moderator Ita Yulita, S.Si., M.Hum., selaku Pamong Budaya Ahli Madya Kapokja Perawatan dan Pengawetan Museum Nasional, dan Maulidha Sinta Dewi, S.Si., M.Sc., selaku pemantik dengan jabatan Pamong Budaya Ahli Muda Pokja Perawatan dan Pengawetan Museum Nasional.

Kegiatan seminar daring dibuka dengan sambutan Kepala Museum Nasional, Drs. Siswanto dan dilanjutkan dengan paparan pembuka oleh Maulidha Sinta Dewi yang membahas pengertian pengawetan dan pentingnya tindakan preventif karena museum-museum di Indonesia umumnya tidak menyalakan pendingin ruangan (AC) selama tidak ada kunjungan. Hal itu menyebabkan kenaikan kelembapan iklim mikro yang dapat berakibat pada kondisi benda-benda koleksi. Untuk mengatasi kenaikan kelembapan iklim mikro dibutuhkan langkah-langkah siklus konservasi di antaranya, Cegah; Halang; Deteksi; Tanggap; dan Perbaiki. Selain itu, hasil pemantauan iklim lingkungan di ruangan lantai 1 gedung B Museum Nasional mencapai titik terendah (50,7%) pada tanggal 11 September 2019 dan meningkat sampai ke titik tertinggi pada tanggal 13 April 2020 (74,4%) bertepatan pada masa PSBB (Maret – Mei 2020).

Sementara itu, Yuni K. Krisnandi, selaku narasumber utama memberikan paparan mengenai peran desikan untuk pengawetan koleksi. Yuni menjelaskan bahwa desikan berguna untuk menyangga kelembapan koleksi karena desikan mampu menyerap kelembapan iklim mikro. Lebih lanjut, Yuni mengatakan bahwa banyak koleksi museum yang terbuat dari bahan organik seperti kayu dan kain yang mana jenis bahan tersebut memerlukan kelembapan tertentu agar tidak rusak. Selain itu, terdapat juga material alternatif yang dapat digunakan sebagai pengontrol kelembapan seperti bentonit atau tanah lempung dan zeolite alam atau pasir kucing. Selanjutnya, Yuni mengatakan bahwa silika gel jauh lebih baik dalam hal menjaga koleksi dari kerusakan akibat kelembapan lingkungan dibandingkan dengan bentonit dan zeolit, namun harganya lebih tinggi. Akan tetapi bentonit dan zeolit dapat menjadi alternatif pengganti jika silika gel sulit untuk didapat.

Sesi paparan ditutup oleh rangkuman dari Ita Yulita, selaku moderator, bahwasanya museum, galeri, perpustakaan memiliki kelembapan yang ideal jika ruangan berpendingin. Jika ruangan memiliki pendingin maka kelembapan akan terjaga di bawah 40% namun jika pendingin ruangan dalam posisi mati maka kelembapan udara akan meningkat. Oleh karena itu, silika gel digunakan agar kelembapan selalu terjaga pada angka 50-60%. Jika kelembapan relatif (RH) diatas 70%, maka untuk koleksi logam akan berkarat dan jika kelembapan dibawah 50%, koleksi seperti buku dan beberapa koleksi yang terbuat dari akan menjadi sangat kering. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan silika gel.