Masuknya agama Hindu dan Buddha dari India turut mempengaruhi budaya masyarakat Nusantara kala itu, terutama dalam hal kepercayaan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari seni arca. Ratusan atau bahkan ribuan arca dan relief tersebar di berbagai wilayah negeri ini dengan berbagai macam gaya seni. Oleh karena itu, sebagai institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, serta museum yang memiliki koleksi arca terbanyak di Indonesia, Museum Nasional menggelar seminar daring yang bertajuk “Kajian Ikonografi Hindu-Buddha Koleksi Museum Nasional” dengan mengundang pakar arkeologi Hindu-Buddha sekaligus guru besar dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Agus Aris Munandar sebagai narasumber utama. Kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi masyakarat yang tertarik dan ingin mengetahui lebih jauh tentang sejarah kuno masa klasik, khususnya dalam bidang ikonografi agar dapat mengenal sejarah bangsa ini.
Pada awal paparannya, Munandar mengenalkan pengertian arca yang merupakan salah satu hasil karya seni yang ditujukan untuk keperluan religi dengan bentuk yang berbeda-beda tergantung ekpresi seniman dalam menggambarkan dewa-dewa. Munandar juga menjelaskan bahwa arca-arca Hindu-Buddha berasal dari sumber-sumber India yang dipelajari oleh silpin (juru pahat) dari kaum brahmana. Para silpin melakukan yoga sebelum melakukan pekerjaannya untuk memusatkan pikiran agar konsep dewata dari kitab suci dapat dipahami untuk kemudian diaplikasikan dalam bentuk arca. Lebih lanjut, Munandar mengatakan bahwa arca terdiri dari beberapa bagian, di antaranya, 1) sandaran arca (prabhamandala); 2) lingkaran di belakang kepala yang bersifat kedewataan (sirascakra); 3) aksesoris (busana) seperti baju, gelang, mahkota, kalung, dll; benda yang dipegang (laksana); dan alas/lapik (padmasana). Sementara itu, menurut Munandar, gaya seni arca di Indonesia terdiri dari dua langgam, yaitu Klasik Tua (abad 8 – 10 M) dengan gaya seni Sailendrawangsa dan Klasik Muda (abad 13 – 15 M) dengan gaya Singasari dan Majapahit.
Koleksi arca-arca yang berada di Museum Nasional, menurut Munandar, memang sudah menjadi warisan dari Bataviasch Genootschap von Kunsten en Wetenschappen (lembaga ilmu pengetahuan dan seni Batavia) yang didirikan oleh ilmuwan-ilmuwan Belanda. Sayangnya, pada masa kolonial, lokasi penemuan arca-arca tersebut tidak dituliskan secara spesifik, melainkan hanya lokasi provinsi ditemukannya. Pada akhirnya para arkeolog mengetahui asal-usul arca berdasarkan ciri-ciri yang menyertai. Selain itu, secara terorema ada ekspresi Hasrat dalam masyarakat Jawa Kuno, disamping untuk aspek agama, peninggalan arkeologi Hindu-Buddha juga berkenaan dengan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Jejak artefak keagamaan merupakan bentuk keinginan dan harapan yang diekspresikan oleh silpin dalam karya-karya mereka dan menjadi tugas para arkeolog untuk mencari makna di dalamnya karena peninggalan-peninggalan ini merupakan manifestasi masyarakat yang membutuhkannya. Arca penanda kehidupan masyarakat, bergantung dari kebutuhan masyarakat dan dibuat sesuai peranan dewa dalam kehidupan masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan ragam budaya dan sejarah yang panjang. Titik awal masa sejarah bangsa ini dimulai dari ditemukannya prasasti Mulawarman yang dikenal juga dengan prasasti Yupa di Kalimantan Timur. Mayoritas ahli sejarah, arkeologi, dan epigrafi sepakat bahwa selain menandai awal sejarah, prasasti Mulawarman juga menjadi bukti eksistensi kerajaan tertua di negeri ini yaitu, Kutai dan mengawali suatu periode yang dikenal dengan Masa Hindu-Buddha.