Konservasi Koleksi di Ruang Pamer

0
2744

Di tengah masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah mengimbau kepada tiap lapisan masyarakat untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing dan menghindari keramaian untuk menekan penyebaran virus corona yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Sebagai salah satu pusat keramaian, Museum Nasional harus menutup sementara ruang pamer untuk pengunjung dan para pegawainya diharuskan melakukan pekerjaan pelayanan dari kediaman masing-masing. Namun demikian, tidak seluruh pekerjaan dapat dilakukan hanya dengan berdiam di rumah, tim dari bidang Perawatan dan Pengawetan Museum Nasional sesekali tetap harus melakukan pekerjaan langsung dari kantor untuk melakukan pemantauan kondisi koleksi di ruang pamer yang sekiranya perlu pengawasan khusus karena letaknya yang berada di ruang terbuka atau koleksi yang terbuat dari bahan mudah kotor atau rentan mengalami kerusakan.

Menurut International Council of Museums (ICOM), museum adalah lembaga nonprofit, terbuka untuk umum sebagai pelayan dan pengembang masyarakat, yang bertugas dalam mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan warisan kebudayaan manusia baik yang berwujud, maupun tidak berwujud dengan tujuan pendidikan, penelitian, dan hiburan. Selain itu, menurut PP Nomor 66 tahun 2015, yang dimaksud museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. Definisi dari kedua sumber tersebut mensyaratkan bahwa salah satu tugas dan fungsi museum adalah melindungi dan melestarikan koleksinya. Kegiatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap koleksi museum ditujukan untuk menghindari terjadinya kerusakan atau kemusnahan.

Kerusakan koleksi dapat disebabkan oleh 10 faktor yang disebut ‘agen kerusakan’, di antaranya gaya fisik, tindakan kriminal, api, air, hama, polutan, cahaya ultraviolet, temperatur tidak sesuai, kelembaban relatif (RH) tidak sesuai, dan disosiasi. Oleh karena itu, diperlukan tindakan pencegahan 10 agen kerusakan tersebut yang dikenal dengan istilah Siklus Konservasi yaitu Deteksi→ Tanggap → Perbaiki → Cegah → Halang.

Langkah awal yang dilakukan adalah mendeteksi kerusakan pada suatu koleksi untuk melihat agen kerusakannya, misalnya patah, berdebu, terdapat sarang serangga, atau terdapat polutan. Kegiatan pendeteksian ini dilakukan secara berkala terutama untuk koleksi yang berada di ruang terbuka. Sementara itu, untuk pendeteksian koleksi yang berada di dalam vitrin, tim bidang Perawatan dan Pengawetan melakukan pengambilan sampel dan kemudian dilanjutkan melalui analisis laboratorium. Langkah selanjutnya adalah Tanggap dan Perbaiki koleksi berdasarkan tingkat kerusakan untuk mencegah disosiasi. Pada tahap ini, perbaikan dilakukan dengan melihat bahan, ukuran, dan lokasi koleksi yang akan dikonservasi (di dalam vitrin atau di ruang terbuka).  Adapun salah satu metode untuk memperbaiki koleksi adalah restorasi, yaitu kegiatan yang bertujuan mengembalikan keaslian bentuk benda, bangunan, dan struktur cagar budaya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Langkah kerja berikutnya adalah Cegah dan Halang yang merupakan tindakan preventif ketika gejala yang ditimbulkan agen kerusakan mulai terlihat. Salah satu contoh tindakan yang dilakukan adalah rutin melakukan fumigasi anoksia dan freezing, memasang perangkap serangga, pengendalian iklim lingkungan mikro (temperatur dan kelembaban relatif), dan pelapisan pada koleksi organik dan non organik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan perawatan dan perawetan memiliki peran penting dalam pengelolaan museum dan dapat menjamin kelestarian benda cagar budaya untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang sehingga mereka tidak akan melupakan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.