Artikel Seminar Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia

0
1526

Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan munculnya virus jenis baru yang menyebabkan pandemik hampir di seluruh penjuru dunia. Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya, apakah wabah pernah merebak sebelum Indonesia merdeka? Apakah wabah pernah mempengaruhi jalannya perpolitikan di Nusantara? Bagaimana cara manusia belajar dari wabah dari masa ke masa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Museum Nasional mengajak pencinta museum yang berada dirumah untuk melakukan kilas balik sejarah pandemi di dunia dan di Indonesia dalam seminar daring bertemakan “Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia” pada tanggal 21 April 2020. Seminar ini dengan moderator yaitu Asep Firman, edukator senior Museum Nasional dengan pembicara Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum., Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Dr. Gani Ahmad Jaelani, DEA, sejarawan Universitas Padjajaran Bandung.

          Menurut Oman,pandemic atau wabah bukan hal yang baru dalam kehidupan umat manusia. Pandemi-pandemi besar seperti wabah Yustinianus (plague of Justinian) pada 541-542 M, Maut Hitam (Black Death) pada 1347-1351 M, dan wabah Bombay (Bombay plague) pada 1896-1897 M telah terekam dalam memori umat manusia. Wabah seperti Flu Spanyol yang menyebar pada awal abad ke-20 menjadi pandemik terbesar yang banyak tercatat dalam sejarah Indonesia. Pandemi yang berulang kali terjadi di seluruh dunia telah memantakan keilmuan dan riset di bidang medis, melahirkan interpretasi keagamaan yang menekankan keseimbangan iman dan akal, dan menghasilkan karya-karya yang menjadi inspirasi generasi kemudian dalam menyikapi pandemik wabah.

          Para sarjana Muslim pada saat itu bergerak melawan wabah berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan masyarakat tidak boleh pergi ke daerah wabah; atau sebaliknya, jangan keluar dari wilayah wabah karena akan menularkan wabah ke wilayah lain. Dalam karya-karya terdahulu, misalnya karya Ibn al-Wardi, dijelaskan mengenai pengalaman kehilangan, cara penguburan, dan lain-lain. Menurutnya, tidak berdasar jika menganggap wabah ini adalah siksaan karena banyak ulama di masanya juga terdampak oleh wabah.

          Oman menuturkan bahwa dulu wabah mengikuti lalu lintas perdagangan dan pergerakan manusia. Sebagai contoh, haji di masa lalupun pernah dianggap menjadi kegiatan yang membahayakan karena dapat menyebarkan wabah kolera pada akhir abad 19 dan 20. Ritual ibadah haji bersifat kerumunan, sehingga saat itu dianggap menjadi salah satu penyebab penyebaran pandemi.

Terkait wabah yang berkembang di Nusantara, Dr. Gani Ahmad Jaelani, DEA, mengutip Jacobus  Bontius, seorang dokter VOC di Batavia, dalam De Medicina Indorum tentang penyakit di Batavia. Penyakit yang merebak saat itu antara lain disentri, beri-beri, kolera, dan kinderpox (kemungkinan sejenis campak).  Bontius, yang juga  seorang  naturalis itu, mengumpulkan informasi mengenai tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan untuk penyakit-penyakit yang berkembang saat itu.

Gani juga menceritakan tentang wabah malaria yang berkembang pada abad 18. “Banyak yang bilang bahwa VOC runtuh karena korup,” tutur Gani. “Mungkin ada satu penyebab (keruntuhan VOC) lagi yaitu malaria abad 18”, lanjutnya. Dikatakan Gani bahwa Batavia merupakan kota yang tidak sehat. Pembangunan kanal tidak memperhatikan lingkungan. Zaman dahulu orang Eropa ingin membangun kota yang ingin seperti kampung halamannya. Masalahnya, kanal menjadi tempat genangan yang menjadi sarang nyamuk. Selain itu dikuatkan oleh tulisan Kapten Cook tahun 1744, kota dibangun dengan bentuk benteng-benteng yang membuat sirkulasi udara buruk.

Kolera juga melanda Nusantara pada awal abad ke-19 mulai tahun 1821. Kolera masuk dari Semarang dan menyebar dengan cepat ke Pulau Jawa. Pemerintah mengabaikan peringatan tahun 1819 ketika penyakit ini telah menyerang Mauritius, Penang, Malaka. Peringatan ini diabaikan dengan alas an iklim di Hindia tidak memungkinkan penyakit ini berkembang, Penyakit ini menyerang semua kalangan, tapi yang paling terdampak adalah kaum pribumi yang miskin karena kurangnya nutrisi yang membuat merekam menjadi lebih rentan.

Gani juga menyebutkan epidemi yang muncul saat Culturstelsel (SistemTanamPaksa). Sistem Tanam Paksa mengakibatkan kemiskinan, yang kemudian menjadi penyebab kurangnya nutrisi, sandang yang buruk, dan hunian yang taklayak. Namun, epidemic yang muncul tahun 1845-1847 akhirnya menjadi pendorong dibangun Sekolah Dokter Djawa 1951.

Ada satu hal yang menarik dituturkan oleh Gani bahwa wabah juga sedikit berkaitan dengan kebangkitan nasional, khususnya yang terjadi di Malang. Dokter Cipto keras mengkritik pemerintah colonial saat itu yang tidak merespon wabah yang menjangkiti masyarakat pribumi saat itu. Kritiknya saat itu menyumbang motivasi untuk melakukan kebangkitan nasional.  Selain itu, ia juga memaparkan pengaruh wabah beri-beri dalam Perang Aceh pada abad 19, penyakit pes yang muncul pada awal abad 20, dan penyakit cacingan yang menjadi awal penggalakan pembuatan toilet di Nusantara.

“Berdasarkan sejarah, kemiskinan selalu memperparah wabah,” tutur Gani. “Sebenarnya saling berkaitan bahwa wabah memperparah kemiskinan dan kemiskinan membuat orang rentan terkena wabah. Yang harus dilakukan saat ini adalah meningkatkan daya tahan tubuh mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu,kita harus focus untuk saling menjaga orang-orang di lingkungan sekitar.”

Nusi Lisabilla, kurator Museum Nasional, saat menutup sesi paparan memberikan catatan bahwa Museum Nasional memiliki beberapa koleksi yang terkait dengan kearifan local pengobatan dan penyakit, misalnya batu panjang untuk menggiling herbal, kain grinsing dari Bali yang digunakan untuk menyelimuti orang sakit agar sembuh, ada juga kain gendongan dengan motif tertentu yang diyakini dapat melindungi anak dari penyakit.  Ini menjadi bukti bahwa pengobatan tradisional telah lekat dalam kearifan local untuk mengatasi penyakit dan wabah dalam sejarah budaya Nusantara.

Seminar ini secara lengkap dapat disaksikan melalui Channel YouTube Museum Nasional

Penulis : Nurul Indrarini & Gufron Hidayatullah