Kisah mengenai naga merupakan kisah yang dikenal orang sepanjang masa. Baru-baru ini bahkan Disney mengeluarkan film Raya and the Last Dragon. Dalam berbagai kebudayaan Naga acapkali dikaitkan sebagai simbol keganasan, namun juga menjadi simbol kebajikan. Karya sastra, dongeng, maupun dalam kepercayaan telah mengisahkan naga secara turun temurun. Tidak hanya itu, naga pun dijadikan ragam hias, baik pada arsitektur maupun benda-benda pelengkap ritus serta kegiatan sehari-hari.

Istilah naga berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ular, naga ataupun makhluk ular yang mendiami air atau dunia di bawah tanah. Diperkirakan naga berwajah manusia dengan bagian tubuh seperti ular. Untuk naga betina memiliki istilah yakni nagini. Istilah naga dalam bahasa Inggris adalah dragon yang berasal dari kata Latin draconem dan berarti ular besar.

Lain budaya, maka lain pula penggambaran dari naga. Di Eropa, naga menyimbolkan makhluk buas yang dikaitkan dengan iblis (demon), yang kerap meneror manusia. Untuk menaklukannya hanya bisa dilakukan oleh ksatria terpilih. Di Asia, umumnya naga melambangkan kekuatan, keberuntungan, kekuasaan serta kesuburan. Dalam budaya Tionghoa, naga digambarkan berbadan ular dengan sisik ikan, cakar serupa elang, bertanduk rusa, dan berkepala Qilin.

Di Indonesia, tepatnya di Jawa dan Bali, naga melambangkan keberkahan dan kesuburan. Bentuk naga diduga dipengaruhi oleh budaya India. Pada ragam hias arsitektur kuno maupun artefak yang ditemukan, umumnya bentuk naga seperti ular besar dengan mahkota di puncak kepalanya. Berikut beberapa koleksi Museum Nasional yang memiliki ragam hias naga.

Keris Nagasasra Sabuk Inten

Ciri khas keris pusaka Nagasasra Sabuk Inten ialah ukiran berbentuk kepala naga pada gandik keris dengan bentuk badan naga berupa sisik halus mengikuti luk keris. Keindahan bentuk keris semakin bertambah dengan adanya penambahan logam emas pada ukiran tersebut. Keris berfungsi sebagai senjata tajam, benda pusaka, ajimat, tanda kehormatan dan kelengkapan busana adat yang sarat makna bagi masyarakat Jawa. Pembuatan keris membutuhkan ketekunan tinggi dengan teknik-teknik khusus yang dilandasi nilai-nilai budaya dan spiritual yang ada di masyarakat. Koleksi ini berasal dari Jawa Tengah, sebelum abad ke -19

Lau Witikau

Lau Witikau ialah jenis sarung yang dihiasi dengan kerang kecil yang diperindah dengan utuhada atau manik-manik. Sarung ini dinilai unik karena memiliki dua motif berbeda di kedua sisinya. Terdapat motif marapu, berupa manusia kangkang dengan kedua tangan diangkat dan hewan melata di kedua sisinya. Marapu dianggap sebagai leluhur pertama yang datang ke Sumba dan menjadi lambang kehadiran leluhur yang selalu mengawasi kehidupan orang Sumba. Selain marapu, terdapat juga motif hias naga, burung phoenix dan rusa yang melambangkan kebangsawanan. Adanya motif naga dan burung phoenix pada sarung tenun ini diduga terinspirasi dari hiasan keramik dari Tiongkok. Lau witikau berperan dalam daur hidup perempuan bangsawan Sumba karena menjadi hadiah pernikahan anak perempuan dari sang ibu agar menjadi kekuatan dan perlindungan pada keluarga baru.  Selain itu sarung ini juga berfungsi sebagai pembungkus jenazah. Terbuat dari kain katun, manik-manik, dan kerang.

Pipa Tembakau Berbentuk Ular Naga

Penggunaan pipa tembakau sebagai alat kenikmatan sangat populer di kalangan bangsawan Nusantara ketika tembakau diperkenalkan pada abad ke-16. Tercatat pada tahun 1603 penguasa Aceh dan tahun 1604 bangsawan Banten menggunakan pipa tembakau sebagai alat kenikmatan. Kegiatan itu pun menjadi bagian dari pergaulan di kalangan istana ketika menemani tamu dari Eropa untuk merokok dengan pipa panjang khas Belanda. Terbuat dari emas dan berlian, koleksi ini berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Wadah Pekinangan

Wadah pekinangan ini berbentuk berupa kobra (hardawalika), seperti lazimnya naga di Jawa. Pada abad ke-16, budaya Jawa mempengaruhi kehidupan di Kesultanan Banjar, baik secara administrasi maupun dalam hal seni. Hardawalika menyimbolkan kekuatan. Wadah ini merupakan tanda kebesaran Kesultanan Banjar dan biasanya diletakkan di dekat sultan ketika berlangsungnya upacara. Terbuat dari Perak, batu kristal, serta emas dari tahun 1861 Masehi

Sesako

Sesako yakni seperangkat kursi kebesaran dalam upacara pengangkatan seorang kepala Marga dari salah satu suku bangsa. Upacara yang disebut papadon ini dilaksanakan di ruang upacara di rumah adat. Sesako berupa bagian belakang bangku pendek di mana calon kepala suku itu duduk bersimpuh. Ada empat motif pada sesako yang mencerminkan kehidupan kepala adat. Keempat motif ini ialah motif naga yang menyimbolkan kekuatan, motif burung yang melambangkan kekayaan, motif ikan simbol dari kesuburan dan wajah manusia yang menggambarkan kekuasaan. Sesako ini berasal dari Lampung sekitar abad ke- 16-17 Masehi.

Sumber:

Handari, Dedah Rufaedah Sri dan Trigangga (Ed). 2017. Buku Panduan Museum Nasional Gedung B. Jakarta: Museum Nasional Indonesia.

Miksic, John Norman (ed.). 2013. Glorious Metal: The Collections of The National Museum of Indonesia. Jakarta: National Museum of Indonesia

https://tirto.id/naga-dalam-dunia-fantasi-cuc7 (diakses 7 Juli 2021)

https://historia.id/asal-usul/articles/apakah-naga-benar-benar-ada-vo1wj/page/3 (diakses 7 Juli 2021)