Melacak Jejak Jaap Kunst

0
3814
Foto: Tropenmuseum

Maraknya studi postkolonial akhir-akhir ini turut membawa nama Jaap Kunst menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan peneliti etnomusikologi Indonesia. Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI, mengadakan Diskusi Kelompok Terpumpun yang bertajuk “Penyelamatan dan Pemanfaatan Warisan Jaap Kunst untuk Perkembangan Etnomusikologi Nusantara” di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta awal November lalu. Lalu, siapakah Jaap Kunst? Mengapa warisannya menjadi begitu penting?

Jaap Kunst lahir di Groningen pada tanggal 12 Agustus 1891. Kedua orang tuanya adalah musisi yang mahir bermain piano. Ayahnya seorang guru piano dan kritikus musik, namun demikian Jaap Kunst lebih tertarik pada biola. Jaap Kunst kecil mulai belajar memainkan biola sejak usia lima tahun. Saat berusia 21 tahun, Jaap Kunst bergabung dengan Groningen Symphony Orchestra selama enam bulan. Pada tahun 1917, Jaap Kunst berhasil meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Groningen. Saat kuliah, Kunst mulai tertarik melakukan riset terhadap seni musik lokal seperti lagu-lagu rakyat dari Terschelling. Setelah lulus, ia bekerja pada salah satu cabang Amsterdam Bank di Utrecht, namun hanya bertahan tiga bulan. Selanjutnya selama setahun ia bekerja di kantor walikota Amsterdam pada Departemen Pendidikan.

Akibat pertunangan yang gagal, kekangan ikatan keluarga, dan kekecewaannya terhadap kantor di Belanda tempatnya bekerja, menjadi alasan mengapa akhirnya Kunst meninggalkan Belanda menuju Hindia Belanda (Indonesia) bersama dua rekan sesama musisi, Kitty Roelants-de Vogel (penyanyi) dan pianis Jan Wagernaar pada musim semi tahun 1919. Sejak Agustus 1919 trio musisi ini tampil tak kurang dari 95 kali di berbagai klub sosial dan kalangan seni; tak hanya di Jawa tapi merambah ke Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Tur musik itu berlangsung dalam kurun waktu delapan bulan. Bulan Mei 1920 kedua rekan Kunst kembali ke Belanda, namun Kunst memutuskan untuk tetap tinggal karena terpikat saat pertama kali mendengar suara gamelan pada Desember 1919 di keraton Paku Alaman, Yogyakarta. Tahun 1921 ia menikah dengan Kathy van Wely, seorang guru sekolah yang kemudian mendukung Jaap Kunst dalam penelitian etnomusikologi di Indonesia.
Jaap Kunst kemudian tidak hanya mempelajari gamelan Jawa, tapi juga membuat dokumentasi foto serta rekaman suara gamelan dalam bentuk wax cylinder (silinder lilin) untuk pertama kalinya di tahun 1922. Setelah itu Kunst sekeluarga pindah ke Bandung hingga awal tahun 1930-an. Sepanjang tahun 1930, Kunst mengelilingi Indonesia untuk melakukan penelitian dan pendokumentasian kegiatan seni di wilayah tersebut, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Kepulauan Kei (Maluku), Nusa Tenggara Timur dan Papua.

Sekitar tahun 1932 Kunst tinggal di Batavia dan menjadi kurator tidak resmi di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional). Kunst banyak bekerja di rumahnya di Jalan Kebon Sirih No. 14, tempat ia menyimpan ribuan koleksi alat musik yang dikumpulkannya selama perjalanan ke daerah-daerah serta rekaman, foto dan film yang dijadikan bahan risetnya. Untuk menunjang risetnya, Kunst juga berkorespondensi dengan banyak pihak, di antaranya Mangkunegoro VII, C.C.F.M le Roux, Heinz Noah, Van der Hoop, Hoesein Djadjadiningrat, Karl Halusa, Claire Holt dan F.D. K. Bosch. Surat korespondesi Jaap Kunst ini masih tersimpan apik di Perpustakaan Universitas Amsterdam.

Salah satu foto dokumentasi Jaap Kunst dalam arsip positif kaca yang disimpan di Museum Nasional.

Tahun 1934 Jaap Kunst kembali ke Belanda dan kemudian menjadi kurator di Royal Tropical Institute (Tropenmuseum) tahun 1936. Tahun 1942 Kunst menjadi dosen khusus di Universitas Amsterdam yang mengajar mata kuliah Sejarah dan Teori Musik Jawa. Ia meninggal akibat kanker tahun 1960. Menurut catatan, sebelum kembali ke Belanda Jaap Kunst memberikan sekitar seribu koleksi alat musik, rekaman silinder lilin, positif kaca (berisi dokumen foto-foto) dan piringan hitam kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Namun sayangnya dari sekitar 2500 koleksi alat musik yang ada di Museum Nasional, belum dapat diidentifikasi koleksi mana saja yang merupakan hibah dari Jaap Kunst karena belum ditemukannya arsip daftar koleksi Jaap Kunst hingga kini. Begitu pula dengan piringan hitam, lagi-lagi kami menemukan hambatan untuk mengidentifikasi hasil rekaman Jaap Kunst saat dilakukan pendataan tahun 2007. Dari sekitar 1000 piringan hitam tersebut tidak ada tanda atau label yang menunjukkan identitas hasil rekaman Kunst dan untuk itu diperlukan riset khusus. Ada puluhan keping piringan hitam yang saat ditemukan sudah rusak (pecah) dan tanpa label, sehingga identifikasi jadi sulit untuk dilakukan.
Pada tahun 2013, saat Museum Nasional sedang memilih materi untuk Pameran Negatif Kaca, tanpa sengaja ditemukan beberapa kotak positif kaca foto. Positif kaca ini sebagian di antaranya merupakan dokumentasi foto yang dibuat oleh Jaap Kunst sekitar tahun 1920-an hingga awal tahun 1930-an. Foto-foto pada kepingan positif kaca berukuran 9×9 cm ini umumnya sudah dipublikasikan Jaap Kunst dalam sejumlah tulisannya, seperti Hindoe-Javanese Musical Instruments, Music and Dance in the Outer Provinces, Music in Java, dan Music in Nias. Hingga kini tercatat ada 129 keping positif kaca peninggalan Jaap Kunst.
Bulan Agustus 2018 kembali ditemukan peninggalan Jaap Kunst yang selama ini masih misteri keberadaannya, yakni rekaman silinder lilin di ruang penyimpanan selasar selatan Gedung A. Silinder lilin ini bertipe Edison Amberola Model Nr. 50 berdurasi empat menit. Silinder lilin dapat diputar atau dibunyikan dengan menggunakan mesin fonograf. Teknologi merekam dengan wax silinder mulai dikenalkan secara komersial pada tahun 1890 dan menjadi populer tahun 1896-1915. Silinder lilin sifatnya sangat rapuh dan sensitif, sehingga perlu penanganan khusus untuk perawatannya. Selain itu, perlu diputar kembali sebagai upaya mengidentifikasi suara rekaman di dalamnya.

Dirjenbud Hilmar Farid melakukan observasi arsip positif kaca dan silinder lilin hasil dokumentasi Jaap Kunst.

Warisan Jaap Kunst berupa koleksi alat musik tradisional Indonesia, foto-foto, rekaman dalam bentuk silinder lilin dan piringan hitam ini merupakan harta karun etnomusikologi Indonesia dan perlu adanya upaya penyelamatan untuk perkembangan studi etnomusikologi Indonesia. Tidak menutup kemungkinan bunyi-bunyian yang direkam Jaap Kunst tersebut tidak dapat kita jumpai lagi keberadaannya saat ini karena arus modernisasi yang begitu deras, apalagi dengan munculnya teknologi digital yang menuntut semua serba instan. Musik tradisional yang dianggap rumit dan memiliki pakem tertentu kini bergeser menjadi musik yang lebih modern. Hal ini lama kelamaan akan menggerus kebudayaan asli Indonesia dan berakhir dengan kepunahan.
Upaya melacak jejak Jaap Kunst di Indonesia, khususnya di Museum Nasional tidak berhenti di sini. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Selain melakukan inventarisasi dan konservasi warisan Jaap Kunst, perlu adanya penelusuran koleksi alat musik dan piringan hitam peninggalan Jaap Kunst. Langkah selanjutnya adalah mengiventarisasi warisan Jaap Kunst di Belanda, Berlin, dan Wina. Proyek ini rencananya akan melibatkan beberapa lembaga, yakni Museum Nasional, Universitas Asterdam, Universitas Gajah Mada dan Institust Seni Indonesia (ISI) Yogayakarta.

(Penulis Nusi Lisabilla Estudiantin  dalam Warta Museum Tahun XIII No. 13 Tahun 2018)
Sumber Bacaan:
Djajadiningrat, Madelon and Clara Brinkgreve. (2014). A musical friendship: The correspondence between Mangkunegoro VII and The Ethnomusicologist Jaap Kunst, 1919 to 1941. In Bart Barendregt and Els Bogaerts (Ed.). Recollecting Resonances: Indonesian-Dutch Musical Encounters (pp.179-201). Leiden-Boston: Brill.
Kunst, Jaap et. al. (1994) Indonesian music and dance. Traditional music and Its interaction with the West. [A compilation of articles (1934-1952) published in Dutch with biographical essay by Ernst Heins, Elisabeth den Otter, Felix van Lamsweerde]. Amsterdam: Royal Tropical Institute/University of Amsterdam.